Menyoal Aspek Teknis Ujian Nasional
Oktober 26, 2009
Label:
UNAS
Kenapa UN kok ditolak? Kan bagus untuk membuat kita punya standar yang jelas mengenai mutu pendidikan kita? Jadi kapan mau punya standar? Kalau tidak ada standar, lalu apa luluskan saja siswanya mau bodoh atau pintar? Gitu aja kok repot...
Akan banyak komentar yang setuju dengan dilaksanakannya UN. Salah satunya memang yang mengatakan, bahwa dengan menetapkan standar tinggi, maka asumsinya siswa harus kerja keras supaya bisa lulus. Jangan manja! Kalau nggak lulus, ya terima-lah kalau situ bodoh, ya bodoh saja. Silakan ikut ujian susulan, atau gabung saja dengan Paket B/C. Kalau nggak lulus juga, berarti situ memang bodoh! Mau bunuh diri kek, mau stress kek, nggak ada urusan.
Komentar itu tentu saja saya lebih-lebihkan. Faktanya tidak se-heartless itu. Anda bisa lacak sendiri lah di media massa, melalui internet. Bejibun kok komentar-komentar pejabat, bahkan mantan Wapres kita yang memang getol memperjuangkan UN.
Baiklah. Supaya jelas, mari kita lihat aspek teknis yang diperdebatkan dalam UN, supaya lebih fokus diskusinya. Aspek teknis yang saya sajikan ini mungkin saja Anda juga sudah pada tahu, jadi sama sekali tidak ada niat untuk menggurui. Meskipun saya juduli aspek teknis, sebenarnya ini berakar dari filosofi pendidikan yang dipilih para wakil rakyat & pemerintah, ketika menerbitkan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU itu jelas-jelas disebutkan bahwa:
Standar kompetensi, dalam dokumen permen itu dijelaskan sebagai standar kompetensi minimal yang harus dikuasai peserta didik.
Lalu apa itu kompetensi? Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi, membuat standar kompetensi yang sering disebut juga sebagai unjuk kerja. Dua departemen itu kemudian menggunakan istilah training, karena konsepnya memang peningkatan kapasitas.
Dalam dokumen sosialisasi KTSP Depdiknas, berikut definisi Kompetensi, Standar Kompetensi, dan Standar Kompetensi Lulusan:
permen_75_2009-kisi-kisiUN-0910
Nah, hampir semua teori tentang kompetensi, akan mengacu pada satu temuan dari Benjamin Bloom, yang memilah Learning Domain dalam 3 ranah, Kognitif-Pengetahuan (Knowledge), Afektif-Sikap (Attittude), dan Psikomotorik-Keterampilan (Skill). Bloom mampu mengoperasionalkan tujuan-tujuan pembelajaran, menjadi kalimat yang mudah diukur (the operationalization of educational objectives). Dari pemilihan kata-kata kerja operasional dalam kalimat tujuan pembelajaran, dapat diketahui kompetensi/unjuk kerja seperti apa yang akan diukur.
Berikut ini adalah tabel kata-kata kerja operasional yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia:
Taksonomy Bloom
Anda bisa lihat, bahwa contoh kata kerja yang muncul disitu, merupakan indikator yang dapat digunakan sebagai alat mengukur keberhasilan sebuah satuan ajaran. Misalnya, kalau dalam ranah kognitif, jika tujuan akhir pembelajaran sebuah mata pelajaran adalah "Peserta didik Mengetahui ...", maka pilihan kata kerja operasional dalam merancang kalimat tujuan belajarnya adalah, "Peserta didik mampu Mengidentifikasi..." , atau kata kerja lain dalam daftar tabel itu yang sesuai konteks mata pelajaran.
Artinya, seorang peserta didik dapat dikatakan kompeten dalam hal Mengetahui sebuah topik, jika ia mampu mengidentifikasi, atau menyebutkan kembali, atau mampu memilih dengan benar. Itu adalah unjuk kerja yang dimaksud dalam paradigma Competency Based.
Itu baru satu contoh, yang saya ambil dari ranah kognitif. Seperti yang Anda tahu, kompetensi yang disebut dalam UU Sisdiknas, tentu tidak cuma bicara di ranah kognitif. Disana juga menekankan aspek afektif, dan juga psikomotorik.
Anda juga bisa lihat, bagaimana naskah Permendiknas di atas menuliskan standar kompetensi yang diinginkan. Standar kelulusannya menyebut "Memahami", tapi kemampuan yang diuji hanya menggunakan kata kerja "Menentukan", untuk semua aspek topik yang diujikan! Kalau Anda periksa di Taksonomi Bloom, kata "Menentukan" itu bukan kata kerja operasional, melainkan kemampuan internal yang harus dimiliki peserta didik. Contohnya jelas, misalnya Menentukan Metode, atau Prosedur.
Jika konsisten dengan paradigma Compentency Based, maka kemampuan yang diujikan, kalau mau membuktikan peserta didik "Mampu Menentukan", adalah kemampuan dalam hal Menjelaskan, Menguraikan sampai Menerangkan dalam tabel Taksonomi Bloom itu. Silakan pilih yang relevan sesuai konteks topiknya.
Mudah, bukan?
Lalu UN muncul dengan hanya soal pilihan ganda, dan mengklaim itu sebagai gambaran kompetensi capaian peserta didik, yang lalu diarahkan sebagai gambaran mutu pendidikan nasional. Ini yang saya sebutkan sebagai "kemalasan" dalam hal metodologi; mau hasil yang komprehensif, tapi menggunakan metodologi secara "tabrak lari". Yang diukur hanya aspek kognitif, dengan cara yang serampangan, dengan hanya menggunakan metode kuantitatif.
Sementara, apa yang terjadi di kelas? Bapak-Ibu guru yang ada di sini mungkin lebih tahu daripada saya soal KTSP. Dalam KTSP Guru dituntut menilai siswa secara komprehensif, otentik, dan salah satu pilihan adalah menggunakan portofolio siswa. Tiga tahun proses pembelajaran itu dipantau sedemikian "njlimetnya", tapi lalu dirobohkan begitu saja dengan proses 3 hari yang namanya Ujian Nasional.
Kita baru bicara soal aspek teknis, yang berkaitan dengan kependidikan. Kita belum menghubungkannya dengan teori-teori perkembangan anak, yang patut jadi perhatian dalam proses pendidikan. Sekolah bukan mesin, bukan komputer, yang sangat tergantung dengan perhitungan matematis. Kita berurusan dengan anak manusia, yang punya dinamika jauh lebih rumit daripada sebuah mesin.
Guru dan sekolah mana yang sanggup menguasai seluruh kompetensi yang njlimet itu, tanpa bantuan dan dukungan yang optimal? Sementara UU Sisdiknas justru melemparkan sebagian tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, tapi penentuan kelulusan siswa diambil alih secara arogan oleh negara.
Karena itulah menolak UN bukan mau menjadi bangsa manja, asal lulus tak pake standar. Ada banyak persoalan mendasar yang belum dibenahi. Dan pembenahan itu sekarang sudah diamanatkan oleh putusan MA, bolanya ada di kaki pemerintah.
Silakan, pak menteri! Kami siap membantu.
Akan banyak komentar yang setuju dengan dilaksanakannya UN. Salah satunya memang yang mengatakan, bahwa dengan menetapkan standar tinggi, maka asumsinya siswa harus kerja keras supaya bisa lulus. Jangan manja! Kalau nggak lulus, ya terima-lah kalau situ bodoh, ya bodoh saja. Silakan ikut ujian susulan, atau gabung saja dengan Paket B/C. Kalau nggak lulus juga, berarti situ memang bodoh! Mau bunuh diri kek, mau stress kek, nggak ada urusan.
Komentar itu tentu saja saya lebih-lebihkan. Faktanya tidak se-heartless itu. Anda bisa lacak sendiri lah di media massa, melalui internet. Bejibun kok komentar-komentar pejabat, bahkan mantan Wapres kita yang memang getol memperjuangkan UN.
Baiklah. Supaya jelas, mari kita lihat aspek teknis yang diperdebatkan dalam UN, supaya lebih fokus diskusinya. Aspek teknis yang saya sajikan ini mungkin saja Anda juga sudah pada tahu, jadi sama sekali tidak ada niat untuk menggurui. Meskipun saya juduli aspek teknis, sebenarnya ini berakar dari filosofi pendidikan yang dipilih para wakil rakyat & pemerintah, ketika menerbitkan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU itu jelas-jelas disebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Dalam bahasa sederhana, kurikulum pendidikan kita saat ini menganut competency based, berbasis kompetensi. Karena berbasis kompetensi, maka penilaian yang dilakukan mempertimbangkan aspek yang disebut sebagai standar kompetensi, atau unjuk kerja. Hal ini bisa Anda lihat dari produk hukum turunannya, yang dibuat oleh Mendiknas, misalnya yang berkaitan dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dalam Permendiknas No. 23/2006. Kisi-kisi dari SKL ini kemudian dituangkan dalam Permendiknas yang lain, misalnya Permendiknas No. 75/2009, tentang UN untuk semua jenjang yang diwajibkan dalam UU.
Standar kompetensi, dalam dokumen permen itu dijelaskan sebagai standar kompetensi minimal yang harus dikuasai peserta didik.
Lalu apa itu kompetensi? Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi, membuat standar kompetensi yang sering disebut juga sebagai unjuk kerja. Dua departemen itu kemudian menggunakan istilah training, karena konsepnya memang peningkatan kapasitas.
Pelatihan berdasarkan kompetensi adalah pelatihan yang memperhatikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan di tempat kerja agar dapat melakukan pekerjaan dengan kompeten. Standar Kompetensi dijelaskan oleh Kriteria Unjuk Kerja.Paradigma yang digunakan dalam Competency Based inilah yang digunakan dalam sistem pendidikan kita. Artinya, peserta didik akan diukur unjuk kerjanya, untuk menentukan apakah ia sudah kompeten dalam satu mata pelajaran. Ukuran kompetensi ini, kemudian dijabarkan dalam kisi-kisi yang dimaksud di atas.
Dalam dokumen sosialisasi KTSP Depdiknas, berikut definisi Kompetensi, Standar Kompetensi, dan Standar Kompetensi Lulusan:
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik.Contoh kisi-kisi yang saya maksud, dapat dilihat pada dokumen berikut, dari naskah lampiran Permendiknas No. 75/2009:
Standar Kompetensi adalah ukuran kompetensi minimal yang harus dicapai peserta didik setelah mengikuti suatu proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu.
Standar Kompetensi Lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
permen_75_2009-kisi-kisiUN-0910
Nah, hampir semua teori tentang kompetensi, akan mengacu pada satu temuan dari Benjamin Bloom, yang memilah Learning Domain dalam 3 ranah, Kognitif-Pengetahuan (Knowledge), Afektif-Sikap (Attittude), dan Psikomotorik-Keterampilan (Skill). Bloom mampu mengoperasionalkan tujuan-tujuan pembelajaran, menjadi kalimat yang mudah diukur (the operationalization of educational objectives). Dari pemilihan kata-kata kerja operasional dalam kalimat tujuan pembelajaran, dapat diketahui kompetensi/unjuk kerja seperti apa yang akan diukur.
Berikut ini adalah tabel kata-kata kerja operasional yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia:
Taksonomy Bloom
Anda bisa lihat, bahwa contoh kata kerja yang muncul disitu, merupakan indikator yang dapat digunakan sebagai alat mengukur keberhasilan sebuah satuan ajaran. Misalnya, kalau dalam ranah kognitif, jika tujuan akhir pembelajaran sebuah mata pelajaran adalah "Peserta didik Mengetahui ...", maka pilihan kata kerja operasional dalam merancang kalimat tujuan belajarnya adalah, "Peserta didik mampu Mengidentifikasi..." , atau kata kerja lain dalam daftar tabel itu yang sesuai konteks mata pelajaran.
Artinya, seorang peserta didik dapat dikatakan kompeten dalam hal Mengetahui sebuah topik, jika ia mampu mengidentifikasi, atau menyebutkan kembali, atau mampu memilih dengan benar. Itu adalah unjuk kerja yang dimaksud dalam paradigma Competency Based.
Itu baru satu contoh, yang saya ambil dari ranah kognitif. Seperti yang Anda tahu, kompetensi yang disebut dalam UU Sisdiknas, tentu tidak cuma bicara di ranah kognitif. Disana juga menekankan aspek afektif, dan juga psikomotorik.
Anda juga bisa lihat, bagaimana naskah Permendiknas di atas menuliskan standar kompetensi yang diinginkan. Standar kelulusannya menyebut "Memahami", tapi kemampuan yang diuji hanya menggunakan kata kerja "Menentukan", untuk semua aspek topik yang diujikan! Kalau Anda periksa di Taksonomi Bloom, kata "Menentukan" itu bukan kata kerja operasional, melainkan kemampuan internal yang harus dimiliki peserta didik. Contohnya jelas, misalnya Menentukan Metode, atau Prosedur.
Jika konsisten dengan paradigma Compentency Based, maka kemampuan yang diujikan, kalau mau membuktikan peserta didik "Mampu Menentukan", adalah kemampuan dalam hal Menjelaskan, Menguraikan sampai Menerangkan dalam tabel Taksonomi Bloom itu. Silakan pilih yang relevan sesuai konteks topiknya.
Mudah, bukan?
Lalu UN muncul dengan hanya soal pilihan ganda, dan mengklaim itu sebagai gambaran kompetensi capaian peserta didik, yang lalu diarahkan sebagai gambaran mutu pendidikan nasional. Ini yang saya sebutkan sebagai "kemalasan" dalam hal metodologi; mau hasil yang komprehensif, tapi menggunakan metodologi secara "tabrak lari". Yang diukur hanya aspek kognitif, dengan cara yang serampangan, dengan hanya menggunakan metode kuantitatif.
Sementara, apa yang terjadi di kelas? Bapak-Ibu guru yang ada di sini mungkin lebih tahu daripada saya soal KTSP. Dalam KTSP Guru dituntut menilai siswa secara komprehensif, otentik, dan salah satu pilihan adalah menggunakan portofolio siswa. Tiga tahun proses pembelajaran itu dipantau sedemikian "njlimetnya", tapi lalu dirobohkan begitu saja dengan proses 3 hari yang namanya Ujian Nasional.
Kita baru bicara soal aspek teknis, yang berkaitan dengan kependidikan. Kita belum menghubungkannya dengan teori-teori perkembangan anak, yang patut jadi perhatian dalam proses pendidikan. Sekolah bukan mesin, bukan komputer, yang sangat tergantung dengan perhitungan matematis. Kita berurusan dengan anak manusia, yang punya dinamika jauh lebih rumit daripada sebuah mesin.
Guru dan sekolah mana yang sanggup menguasai seluruh kompetensi yang njlimet itu, tanpa bantuan dan dukungan yang optimal? Sementara UU Sisdiknas justru melemparkan sebagian tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, tapi penentuan kelulusan siswa diambil alih secara arogan oleh negara.
Karena itulah menolak UN bukan mau menjadi bangsa manja, asal lulus tak pake standar. Ada banyak persoalan mendasar yang belum dibenahi. Dan pembenahan itu sekarang sudah diamanatkan oleh putusan MA, bolanya ada di kaki pemerintah.
Silakan, pak menteri! Kami siap membantu.
0 komentar:
Posting Komentar